Selasa, 19 Agustus 2014

KRITIK TERHADAP PLURALISME AGAMA

KRITIK TERHADAP PLURALISME AGAMA
Oleh: Havis A


Fenomena pikiran yang menganggap semua agama itu sama akhir-akhir ini semakin marak, hal ini tidak terlepas dari kuatnya arus “hegemoni” globalisasi dan westernisasi yang di dalamnya mengusung tiga paket isu penting yaitu sekularisme, liberalisme dan pluralisme itu sendiri. Tapi sekarang pluralisme menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang tentu sangat mengejutkan bagi umat Islam, karena bagaimana pun pluralisme adalah sebuah paham baru bagi umat Islam dan motif dari kemunculannya perlu dipertanyakan.


Banyaknya konflik bernuansa agama karena terjadi eksploitasi dan dijadikannya agama sebagai alat legitimasi politik dan kekuasaan, intervensi Negara terhadap agama telah memunculkan ketegangan-ketegangan baik vertikal maupun horizontal. Eksploitasi dan intervensi tersebut berakibat juga pada lahirnya ekspresi keagamaan yang timpang dan destruktif. Ditambah lagi kekeringan spiritualitas yang dialami manusia kontemporer telah membuat kemajuan teknologi, informasi, dan sejenisnya tidak memberikan kesejahteraan dan ketenangan hakiki kepada umat manusia, sehingga umat manusia berlomba-lomba mencari pelarian dari masalah itu, pencarian itu mereka temukan dalam pluralisme agama. Karena pluralisme agama dianggap sebagai pemberi solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahur.






Istilah Pluralisme


Secara etimologi, pluralisme Agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan al-ta’addudiyyah al-diniyyahdan dalam bahasa Inggris religious pluralism. Menurut kamus Bahasa Inggris, Pluralism bearti jama atau lebih dari satu. Mempunyai tiga pengertian. Pertama,pengertian kegerejaan; sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, bearti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politik adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik berbagai kelompok-kelompok tersebut.1

Pada ahli sejarah sosial cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu intitusi histories-suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis. Misalnya, secara alami sangat mudah membedakan agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara ahli bidang sosiologi dan antrapologi mendefenisikan agam dai sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan ahli bidang teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek subtansinya yang sangat asasi, yaitu sesuatu yang sangat sacral (the sacred).


Jadi pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas), yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dalam studi-studi dan wacana sosio ilmiah defenisi pluralisme agama telah menemukan defenisinya sendiri yang sangat berbeda dengan yang dimilikinya semua (dictionary definition).2


Anis Malik Thoha menyatakan defenisi Pluralisme Agama merupakan satu problem utama yang sangat mendasar dan membingungkan, namun sangat sedikit yang memperhatikan defenisi tersebut dan seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan boleh taken for granted. Hanya Prof John Hick, seorang filusuf dan teolog Kristen kontemporer yang benar-benar mencoba serius mendefiniskan istilah dengan jelas dalam bukunya Problems of Relegion Pluralism.3

Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragama terhadap Yang Real dan Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan Hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut – dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.4


Berdasarkan defenisi di atas sangatlah jelas bahwa tidak ada perbedaan yang esensial dan fundamental diantara agama-agama dunia. Oleh sebab itu, John Hick kemudian menyimpulkan semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respon manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas trasenden yang satu dan sama. Dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the real”. Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tidak ada satu pun agama yang berhak mengklaim “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).5


Menurut Adian Husaini Pluralisme Agama (religious pluralisme) dengan sebuah paham (isme) tentang “pluralitas”. Paham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama; mengapa dan bagaimana memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragama. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar.6

Prasangka

Prasangka

Engkau yang mengira dianaktirikan olehNya
karena nasibmu yang terlihat tidak seindah orang lain,
sangat bisa jadi
sedang diminta memindahkan 'batas kesanggupanmu'
dalam menghadapi hidup ini.

Perbaiki prasangka padaNya,
tata lagi lisanmu
dan hadapilah masalahmu dengan sikap terbaikmu!

- IH 19082014